Selasa, 07 Agustus 2012

DEFINISI TAWAKKAL

Oleh
Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji


A. Pengertian Lughawi (Secara Bahasa).
Kata “اَلتَّوَكُّلُ” berasal dari kata “وَكَلَ”. Dikatakan,
“ِوَتَوَكَّلَ عَلَيْهِ وَاتَكَّلَ وَكَلَ باللهِ” berarti berserah diri kepada-Nya.[1] Juga, “وَكَلَ إِلَيْهِ َاْلأَمْرَ وَكْلاً وَوَكُوْلاً” yang berarti menyerahkan dan meninggal-kannya.[2]

Serta, “رَجُلٌ وَكَلٌ وَوُكَلَةٌ” semisal dengan kata “humazah” dan “tukalatun” yang berarti orang lemah yang mewakilkan urusannya kepada orang lain sekaligus bersandar padanya.[3] Al-Azhari mengatakan:

رَجُلٌ وُكَلَةٌ إِذَا كَانَ يَكِلُ أَمْرَهُ إِلَى النَّاسِ

“Seseorang disebut ‘Wukalatun,’ jika dia menyerahkan urusannya kepada orang lain.”[4]

Dan kalimat, “وَفَرَسٌ وَاكِلٌ” berarti bersandar pada penunggangnya dalam melompat dan memerlukan pukulan.

Dan kata “اَلْوَكِيْلُ” berwazan fa’iil yang berarti maf’ul, yaitu orang yang diserahi urusan oleh pemilik urusan tersebut. Al-Azhari mengatakan, “Disebut ‘وَكِِيْلُ’, karena pemilik urusan itu telah melimpahkan (mewakilkan) wewenang kepadanya untuk menyelesaikan urusannya dan ia disebut sebagai [5] ‘مَوْكُوْلٌ إِلَيْهِ’”

Sebagian dari mereka menafsirkan kata “اَلْوَكِيْلُ” sebagai “اَلْكَافِلُ” yaitu pihak yang memberi jaminan. Ar-Raghib mengatakan, “Kata ‘اَلْوَاكِيْلُ’ lebih umum, karena setiap kafiil itu pasti wakiil, tetapi tidak setiap wakiil itu sebagai kafiil.” [6]

Kata “اَلتَّوْكِيْلُ” berarti, jika Anda bersandar kepada orang lain dan Anda jadikan ia sebagai wakil bagi diri Anda.

Kata “تَوَكُّلٌ” berwazan “تَفَعُّلٌ”dari kata “اَلْوَكَلَةُ” atau “وِكَلَةٌ” yang berarti memperlihatkan ketidak mampuan dan bersandar pada orang lain[7]. Dan isimnya adalah [8] “اَلتِّكْلاَنُ”.

Ibnul Atsir mengatakan, “Dikatakan ‘تَوَكُّلُ بِالأَمْر’, jika pelaksanaan sebuah urusan ditanggung. ‘وَكَّلْتُ أَمْرِيْ إِلَى فُلاَنٍ’, berarti saya berlindung sekaligus bersandar kepadanya dalam urusan itu. Dan juga menyerahkan pelaksanaan urusan itu sendiri [9]. Dan terkadang keduanya bersatu.

Ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan, “Kata ‘اَلتَّوَكُّلُ’ dikatakan pada dua sisi. Dikatakan, ‘تَوَكَّلْتُ لِفُلاَنٍ’, yang berarti aku serahi kekuasaan padanya. Dan dikatakan pula, ‘وَكَّلْتُهُ فَتَوَكَّلَ لِيْ’ yang berarti saya serahkan urusan kepadanya sehingga dia mewakili diri saya. Dan kata ‘تَوَكَّلْتُ عَلَيْهِ’ berarti saya bersandar kepadanya.” [10]

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka yang dimaksudkan dengan kata اَلْوَكَالَةُ ada dua:

Pertama: اَلتَّوْكِيْلُ, yaitu mewakilkan sekaligus menyerahkan.

Kedua: اَلتَّوَكُّلُ yang berarti menjalankan tugas berdasarkan perwakilan yang diberikan oleh si pemberi hak tersebut.[11]

Demikianlah itu beberapa makna kata ini. Dan masih ada beberapa makna lainnya, dan di sini sengaja tidak saya sampaikan karena tidak adanya kaitan dengan apa yang dimaksudkan di sini.

B. Pengertian secara Istilah.
Adapun makna istilah kata “تَوَكُّلٌ” (Tawakkul), maka dilihat dari posisinya yang mengungkapkan salah satu dari keadaan hati yang sulit untuk diterka pada batasan tertentu. Karenanya, muncul berbagai penafsiran para ulama dalam bermacam bentuk. Ada di antaranya yang menafsirkannya secara lazimnya dan ada juga yang menafsirkannya dengan menggunakan sebab-sebab dan faktor-faktornya, atau dengan nilai atau sebagian dari maknanya, sebagai-mana yang menjadi kebiasaan para ulama Salaf dalam penafsiran mereka.

Di antara sebab perbedaan itu adalah bahwa keadaan dan amal perbuatan hati itu sulit sekali diterka secara pasti dan pengungkapannya (pembatasannya) dengan kata-kata. Oleh karena itu, mengenai tawakkal ini. Al-Ghazali mengungkapkan, “… Tidak jelas dari segi makna dan sulit dari segi amal.”[12]

Sebagaimana mereka tidak mengarahkan pengertian-pengertian itu dengan pengertian istilah yang hakiki, tetapi mereka hanya bermaksud untuk menjelaskan pentingnya kriteria ini atau memelihara keadaan orang yang mengatakan atau bahkan sampai pendengar sekalipun atau sebab-sebab lainnya.
Oleh karena itu, muncul berbagai penafsiran mereka dan seakan-akan lahiriyahnya tampak ada suatu perbedaan dan perubahan, yang pada hakikatnya ia terdiri dari beberapa bagian makna umum dari kata tawakkal itu sendiri atau dari kelaziman, pengaruh, dan nilainya.

Di antara yang terpenting dari penafsiran-penafsiran itu adalah:

1. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan,“Yaitu, percaya sepenuhnya kepada Allah [13]".

2. Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk [14]."

Dan dia juga mengatakan, “Kata tawakkal berarti penyerahan urusan kepada Allah Jalla Tsanuhu sekaligus percaya sepenuhnya hanya kepada-Nya.” [15]

3. ‘Abdullah bin Dawud al-Khuraibi [16] mengatakan, “Saya melihat tawakkal sebagai husnuzhan (prasangka baik) kepada Allah.” [17]

4. Syaqiq bin Ibrahim [18] mengatakan, “Tawakkal berarti ketenangan hati pada apa yang dijanjikan oleh Allah Azza wa Jalla.” [19]

5. Al-Hasan pernah ditanya tentang tawakkal, maka dia menjawab, “Yaitu, ridha pada Allah Azza wa Jalla ”

6. Setelah ditanya tentang tawakkal, ‘Ali bin Ahmad al-Busyanji [20] mengatakan, “Melepaskan diri dari daya dan kekuatanmu serta daya dan kekuatan orang sepertimu.” [21]

7. Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan dari sebagian mereka, “Yaitu penyerahan urusan kepada Allah, sebagai bentuk kepercayaan penuh pada kebaikan pengelolaan-Nya.” [22]

8. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yaitu, bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam memperoleh kemaslahatan dan menolak mudharat dari urusan dunia dan akhirat secara keseluruhan.” [23]

9. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Ada yang mengatakan, ‘Yaitu, memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah disiapkannya sebab.’” [24]

10. Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab mengatakan, “Yaitu tindakan seorang hamba menyandarkan urusannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, yang tiada sekutu bagi-Nya dalam semua urusannya, baik urusan agama maupun urusan duniawinya.” [25]

11. Mungkin definisi yang paling dekat yang mungkin dapat menggabungkan berbagai bagian di atas adalah dengan mengatakan, “Yaitu keadaan hati yang berasal dari pengetahuannya pada Allah, iman pada keesaan-Nya dalam menciptakan, mengendalikan, memberi mudharat dan manfaat, memberi dan menolak. Apa yang Dia kehendaki, pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki, pasti tidak akan pernah terjadi. Sehingga ada keharusan untuk bersandar kepadanya sekaligus menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya sekaligus merasa tenang dan percaya diri padanya. Juga yakin secara penuh pada kecukupan yang ada pada-Nya atas apa yang dia sandarkan pada-Nya.” [26]

[Disalin dari kitab At-Tawakkul ‘alallaahi Ta’aalaa, Penulis Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji, Edisi Indonesia MEMAHAMI TAWAKKAL Menyandarkan Semua Urusan kepada Allah Azza Wa Jalla, Penerjemah M. Abdul Ghaffar E.M. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Rabi’ul Awwal 1426H April 2005M]
_______
Footnote
[1]. Kitab Lisaanul ‘Arab (XI/734), karya Ibnu Manzhur: Jamaluddin Muhammad bin Mukarram, wafat tahun 711 H. Cetakan tahun 1388, diterbitkan oleh Daar Shaadir dan Daar Beirut. Materi: Wakala.
[2]. Kitab Al-Qaamuus al-Muhiith (IV/67), karya Fairuz Abadi: Majduddin Muhammad bin Ya’qub. Cetakan kedua, tahun 1371 H, diterbitkan oleh Maktabah dan Mathba’ah Mushthafa, al-Baabi al-Halabi. Materi: Wakala.
[3]. Kitab Taajul Lughah wa Shihaah al-‘Arabiyah (V/1845), karya al-Jauhari: Isma’il bin Hamad, wafat 393 H, diterbitkan oleh Maktabah dan Mathba’ah Mushthafa, al-Baabi al-Halabi. Dan lihat juga kitab Lisaanul ‘Arab (XI/734).
[4]. Kitab Tahdziib al-Lughah (X/371), karya al-Azhari: Abu Manshur Muhammad bin Ahmad al-Azhari, wafat tahun 370 H. Tahqiq: ‘Abdussalam Harun. Cetakan tahun 1384 H, dipublikasikan oleh ad-Daar al-Mishriyah Lit-ta’liif wan Nasyr.
[5]. Ibid.
[6]. Kitab Al-Mufradaat fii Ghariib al-Qur-an, hal. 532, karya ar-Raghib al-Ashfahani: Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad, wafat tahun 502 H. Tahqiq: Muhammad Sayyid Kailani. Terbitan Daar al-Ma’rifah, Beirut, Libanon.
[7]. Kitab Mujmal al-Lughah (III/934), karya Abu al-Husain Ahmad bin Faris, wafat tahun 395 H. Tahqiq: Zahir ‘Abdul Muhsin Khilkan. Cetakan pertama 1404 H Muasasah. Materi: “Wakala”.
[8]. Kitab As-Shihhaah (V/185), karya al-Jauhari, Isma’il bin Hamad, wafat tahun 393 H, tahqiq oleh Ahmad Abdul Ghafur Athar, cetakan ketiga, 1404 H, Daar al-‘Ilm lil Malaayin. Materi: “Wakala”.
[9]. Kitab An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Atsar (V/221), karya Ibnul Atsir: Abu as-Sa’adah al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari, wafat tahun 606 H. Tahqiq: Thahir az-Zawi dan Mahmud ath-Thanahi. Cetakan 1383 H. Distributor: al-Maktabah al-Islamiyyah. Materi: “Wakala”.
[10]. Kitab Al-Mufradaat fii Ghariib al-Qur-an, hal 531, karya ar-Raghib al-Ashfahani.
[11]. Kitab Madaarijus Saalikiin baina Manaazil Iyyaaka Na’budu wa Iyyaaka Nasta’iin, karya Ibnul Qayyim Muhammad bin Abi Bakar az-Zar’i, wafat tahun 751 H. Tahqiq: Muhammad Hamid al-Faqi. Cetakan ketiga, 1393 H.
[12]. Kitab Ihyaa’ Uluumuddin (IV/243), karya Imam al-Ghazali Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, wafat tahun 505 H. Dipublikasikan oleh Darul Ma’rifah.
[13]. Kitab Zaadul Masiir fii ‘Ilmi at-Tafsiir (II/24), karya Ibnul Jauzi Abul Faraj Jamaluddin ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad, wafat tahun 597 H. Tahqiq: Muhammad bin ‘Abdirrahman ‘Abdillah, takhrij hadits oleh: As-Sa’id bin Basyuni Zaghlul. Cetakan pertama, tahun 1407 H, Daar al-Fikr.
[14]. Kitab Thabaqaat al-Hanaabilah (I/416), karya al-Qadhi Abul Husain Muham-mad bin Abi Ya’la, wafat tahun 526 H. Didistribusikan oleh Dar al-Ma’rifah.
[15]. Kitab Syu’abul Iimaan (II/57), karya al-Baihaqi Abul Husain Ahmad bin al-Husain, wafat 458 H. Tahqiq: Muhammad as-Sayyid Ibnu Basyuni Zaghlul. Cetakan pertama, tahun 1410. Didistribusikan Darul Kutub al-‘Ilmiah.
[16]. Yaitu, ‘Abdullah bin Dawud bin Amir bin Rabi’, Imam panutan. Ibnu Sa’ad mengatakan, Dia seorang yang dapat dipercaya dan taat beribadah, wafat tahun 213 H. Biografinya ada di dalam kitab Siyar A’laam an-Nubalaa’ (IX/346), karya adz-Dzahabi. Dan kitab Tadzkiratul Huffaazh (I/337).
[17]. Kitab At-Tawakkul ‘alaallah (XXX/65), karya al-Hafizh Abu Bakar bin Abid Dunya, wafat tahun 281 H. Tahqiq: Jasim al-Fuhaidi. Cetakan pertama, 1407 H. didistribusikan oleh Daar al-Basyaa’ir. Juga kitab Syu’abul Iimaan (II/97), karya al-Baihaqi. Serta kitab Siyar A’laam an-Nubulaa’ (IX/349).
[18]. Yaitu, Syaqiq bin Ibrahim Abu ‘Ali al-Balkhi, termasuk seorang ahli zuhud terkemuka. adz-Dzahabi mengatakan: “Dia termasuk salah seorang mujahid terkemuka. Dan dia meninggal sebagai syahid dalam peperangan Kaulan, tahun 194 H.” Kitab Miizaan al-I’tidaal (II/ 279).
[19]. Kitab Syu’abul Iimaan (II/98).
[20]. ‘Ali bin Ahmad bin Ibrahim al-Busyanji, seorang sufi, zuhud, dan wara’, yang wafat pada tahun 347 H. Ada juga yang mengatakan, 348 H di wilayah Naisabur. Biografinya ada di dalam kitab Hilyatul Auliyaa’ (X/379). Juga kitab al-Muntazhim (VI/391), karya Ibnul Jauzi. Serta kitab Thabaqaat asy-Syafi’iyyah (III/344), karya as-Subki.
[21]. Kitab Syu’abul Iiimaan (II/99).
[22]. Kitab Zaadul Masiir (II/24). Lihat juga penafsiran seperti ini dalam Syu’abul Iimaan (III/95), karya al-Baihaqi dan setelahnya. Juga kitab Ihyaa’ Uluumuddin (IV/265) serta kitab Madaarijus Saalikiin (II/116).
[23]. Kitab Jaami’ al-‘Uluum wal Hikam fii Syarhi Khamsiin Hadiitsan min Jawaami’ al-Kalim, hal. 409, karya Ibnu Rajab al-Hanbali Abul Faraj ‘Abdurrahman bin Syihabuddin, wafat tahun 795 H. Didistribusikan oleh Daar al-Ma’rifah.
[24]. Kitab Fat-hul Baari Syarhu Shahiih al-Bukhariy (III/449), karya Imam al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani, wafat tahun 852 H. Cetakan ketiga, tahun 1407 H. Didistribusikan oleh al-Maktabah as-Salafiyah, Kairo.
[25]. Kitab Al-Kalimaat an-Naafi’ah fii al-Mukaffiraat al-Waaqi’ah, hal 6-7, karya Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab. Cetakan kedua, tahun 1400 H. Diterbitkan oleh Maktabah as-Salafiyah, Kairo.
[26]. Lihat Kitab Madaarijus Saalikin (I/82). Dan lihat juga yang dekat darinya Tajriid at-Tauhiid, hal 28, karya al-Muqrizi.
Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...