Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
Mudah memaafkan, penyayang terhadap sesama Muslim dan lapang dada terhadap kesalahan orang merupakan amal shaleh yang keutamaannya besar dan sangat dianjurkan dalam Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta berpisahlah dari orang-orang yang bodoh. [al-A’raf/7:199]
Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. [Ali Imran/3:159]
Bahkan sifat ini termasuk ciri hamba Allah Azza wa Jalla yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(Orang-orang yang bertakwa adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali-Imran/3:134]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khsusus menggambarkan besarnya keutamaan dan pahala sifat mudah memaafkan di sisi Allah Azza wa Jalla dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat)” [1]
Arti bertambahnya kemuliaan orang yang pemaaf di dunia adalah dengan dia dimuliakan dan diagungkan di hati manusian karena sifatnya yang mudah memaafkan orang lain, sedangkan di akhirat dengan besarnya ganjaran pahala dan keutamaan di sisi Allah Azza wa Jalla. [2]
MAAF-MEMAAFKAN DI HARI RAYA?
Akan tetapi, amal shaleh yang agung ini, bisa berubah menjadi perbuatan haram dan tercela jika dilakukan dengan cara-cara yang tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Misalnya , mengkhususkan perbuatan ini pada waktu dan sebab tertentu yang tidak terdapat dalil dalam syariat tentang pengkhususan tersebut. Seperti mengkhususkannya pada waktu dan dalam rangka hari raya Idul Fithri dan Idul Adha.
Ini termasuk perbuatan bid’ah [3] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka” [4]
Kalau ada yang bertanya : mengapa ini dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang sesat, padahal agama Islam jelas-jelas sangat menganjurkan dan memuji sifat mudah memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana telah disebutkan dalam keterangan diatas ?
Jawabnya : Benar, Islam sangat menganjurkan hal tersebut, dengan syarat jika tidak dikhususkan dengan waktu atau sebab tertentu, tanpa dalil (argumentasi) yang menunjukkan kekhususan tersebut. Karena, jika dikhususkan dengan misalnya waktu tertentu tanpa dalil khusus, maka berubah menjadi perbuatan bid’ah yang sangat tercela dalam Islam.
Sebagai contoh shalat malam dan puasa sunnah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Namun, dua jenis ibadah ini jika pelaksanaannya dikhususkan pada hari Jum’at, maka dua masalah besar tersebut menjadi tercela dan haram untuk dilakukan [5], sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَ تَخْتَصُّوالَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامِ مِنْ بَيْنَ اللَّيَالِى وَلاََ تخُصُّوايَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامِ مِنْ بَيْنِ الأَيَامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ
Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at di antara malam-malam lainnya (melaksanakan) shalat malam, dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at di antara har-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali puasa yang bisa dilakukan oleh salah seorang darimu. [6]
Inilah yang diistilahkan oleh para ulama dengan nama “bid’ah idhafiyyah”, yaitu perbuatan yang secara umum dianjurkan dalam Islam, akan tetapi sebagian kaum Muslimin mengkhususkan perbuatan tersebut dengan waktu, tempat, sebab, keadaan atau tata cara tertentu yang tidak bersumber dari petunjuk Allah Azza wa Jalla dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [7]
Contoh lain dalam masalah ini adalah shalat malam yang dikhususkan pada bulan Rajab dan Sya’ban. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata tentang dua shalat ini : “Shalat (malam di bulan) Rajab dan Sya’ban adalah bid’ah yang sangat buruk dan tercela” [8]
Imam Abu Syamah rahimahullah menjelaskan kaidah penting ini dalam ucapannya: “Tidak diperbolehkan mengkhususkan ibadah-ibadah dengan waktu-waktu (tertentu) yang tidak dikhususkan oleh syariat, akan tetapi hendaknya semua amal kebaikan tersebut bebas (dilakukan) di setiap waktu (tanpa ada pengkhususan). Tidak ada keutamaan satu waktu di atas waktu yang lain, kecuali yang diutamakan oleh syariat dan dikhsusukan dengan satu macam ibadah…. Seperti puasa di hari Arafah dan Asyura, shalat di tengah malam, dan umrah di bulan Ramadhan…”[9]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “… Termasuk (contoh) dalam hal ini bahwa sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan larangan mengkhususkan bulan Rajab dengan puasa dan hari Jum’at, agar tidak dijadikan sebagai sarana menuju perbuatan bid’ah dalam agama (yaitu) dengan pengkhususan waktu tertentu dengan ibadah yang tidak dikhususkan oleh syarat” [10]
MENIMBANG ACARA HALAL BIL HALAL
Termasuk acara yang marak dilakukan oleh kaum Muslimin di Indonesia dalam rangka saling memaafkan setelah hari raya Idhul Fithri adalah apa yang biasa dikenal dengan acara Halal bil halal.
Acara ini termasuk perbuatan bid’ah yang tercela dengan alasan seperti yang kami paparkan diatas. Acara ini tidak pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi terbaik umat ini, para sahabat Radhiyallahu anhum, serta para imam ahlus sunnah yang mengikuti jalan mereka dengan baik. Padahal mereka adalah orang-orang yang telah dipuji pemahaman dan pengamalan Islam mereka oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Azza wa Jalla berfirman.
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar (para sahabat) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang benar. [at-Taubah/9 : 100]
Dan dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para Sahabat), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka. [11]
Disamping itu acara ini ternyata berisi banyak kemungkaran dan pelanggaran terhadap syariat Allah Azz wa Jalla, diantaranya :
1. Terjadinya ikhtilath (bercampur baur secara bebas) antara laki-laki dengan perempuan tanpa ada ikatan yang dibenarkan dalam syariat. Perbuatan ini jelas diharamkan dalam Islam, bahkan ini merupakan biang segala kerusakan di masyarakat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku tidak meninggalkan setelahku fitnah (keburukan/kerusakan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki melebihi (fitnah) kaum perempuan” [12]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mejelaskan hal ini dalam ucapan beliau : “Tidak diragukan lagi bahwa membiarkan kaum perempuan bergaul bebas dengan kaum laki-laki adalah biang segala bencana dan kerusakan, bahkan ini termasuk penyebab (utama) terjadinya berbagai malapetaka yang merata. Sebagaimana ini juga termasuk penyebab (timbulnya) kerusakan dalam semua perkara yang umum maupun yang khusus. Pergaulan bebas merupakan sebab berkembang pesatnya perbuatan keji dan zina, yang ini termasuk sebab kebinasaan massal (umat manusia) dan munculnya wabah penyakit-penyakit menular yang berkepanjangan” [13]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah lebih menegaskan hal ini dalam ucapan beiau : “Dalil-dalil (dari al-Qur’an dan hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) secara tegas menunjukkan haramnya (laki-laki) berduaan dengan perempuan yang tidak halal baginya, (demikian pula diharamkan) memandangnya, dan semua sarana yang menjerumuskan (manusia) ke dalam perkara yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla. Dalil-dalil tersebut sangat banyak dan kuat (semuanya) menegaskan keharaman –ikhtilath (bercampur baur secara bebas antara laki-laki dengan perempuan kepada perkara (kerusakan) yang sangat buruk akibatnya” [14]
2. Bersalaman dan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya).
Perbuatan ini sangat diharamkan dalam Islam berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya dari pada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya” [15]
3. Kehadiran para wanita yang besolek dan berdandan seperti dandanan wanita-wanita Jahiliyah.
Ini juga diharamkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
Dan hendaklah kalian (wahai kaum perempuan Mukminah) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (bersolek dan berhias) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu. [Al-Ahzab/33 : 33]
Dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) setan akan mengikutinya (menghiasinya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaannya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allah) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya” [16]
PENUTUP
Demikianlah pemaparan ringkas tentang hukum saling maaf-memaafkan dalam rangka hari raya. Wajib bagi setiap muslim untuk meyakini bahwa semua sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla semua itu telah dijelaskan dan dicontohkan dengan lengkap oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam petunjuk yang beliau bawa.
Sahabat yang mulia Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burungpun yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliu Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kami ilmu tentang hal tersebut”. Kemudian Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
مَا بَقِيَ شَيءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَا عِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Tidak ada (lagi) yang tertinggal sedikit pun dari (ucapan’perbuatan) yang bisa mendekatkan (kamu) ke surga dan menjauhkan (kamu) dari neraka, kecuali semua itu telah dijelaskan kepadamu” [17]
Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah dan menjauhi segala sesuatu yang menyimpang dari sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir hayat kita. Amin
Ya Allah, wafatkanlah kami di atas agama Islam dan di atas sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [18]
Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim no. 2588 dan imam-imam lainnya
[2]. Lihat syarh Shahih Muslim 16/14 dan Tuhfatul Ahwadzi 6/150
[3]. Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[4]. HR. Muslim no. 867, an-Nasai no. 1578 dan Ibnu Majah no.45
[5]. Lihat Ilmu Ushulil Bida’ hlm.151
[6]. HR. Muslim no. 1144
[7]. Lihat Ilmu Ushulil Bida’ hlm.147-148
[8]. Fatawa al-Imam an-Nawawi hlm.26
[9]. Al-Baits ‘ala Inkaril Bida’i wal Hawadits hlm.165
[10]. Ighatsatul Lahfan I/368
[11]. HR. al-Bukhari dan Muslim
[12]. HR. al-Bukhari no. 4808 dan Muslim no. 2740
[13]. Seperti penyakit AIDS dan penyakit-penyakit kelamin berbahaya lainnya. Na’udzu billahi min dzalik.
[14]. Majalatul Buhutsil Islamiyah 7/343
[15]. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir no. 486 dan 487 dan ar-Ruyani dalam al-Musnad 2/227, dan dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 226
[16]. HR Ibnu Khzaimah no. 1685, Ibnu Hibban no. 5599 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath no. 2890, dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan al-Albani dalam ash-Shahihah no. 2688
[17]. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir 2/155, no. 1647 dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1803
[18]. Doa yang selalu diucapkan oleh Imam Ahmad bin Hambal yang dikutip oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam tarikh Baghdad 9/349
SUmber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar