Praktiknya, guru menerangkan pelajaran dan siswa memperhatikan. Pada kesempatan lain, siswa diuji tentang kemampuannya menangkap materi yang telah diajarkan oleh guru. Jika siswa tidak mampu memberikan jawaban secara benar, kesalahan cenderung ditimpakan kepada siswa. Begitu pula jika guru bepersepsi lain, maka gaya mengajarnya pun akan lain. Gaya guru mengajar sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Definisi Mengajar
Fox, seorang ahli pendidikan dari Inggris, menemukan bahwa guru-guru mendefinisikan tujuan mengajar berbeda-beda. Dia mengelompokkan definisi-definisi itu ke dalam empat kategori, yaitu: transfer, shaping, travelling, dan growing (dalam Celdic, 1995:23). Berikut adalah penjelasannya:
Transfer. Dalam model ini, mengajar dilihat sebagai proses pemindahan pengetahuan (process of transferring knowledge) dari seseorang (guru) kepada orang lain (siswa). Siswa (anak) dipandang sebagai wadah yang kosong (empty vessel), dan jika pengetahuan tidak berhasil ditransferkan masalahnya cenderung dilihat sebagai kesalahan siswa.
Shaping. Pengajaran merupakan proses pembentukan siswa pada bentuk-bentuk yang ditentukan. Di sini siswa diajar keterampilan-keterampilan dan cara-cara bertingkah laku yang dianggap bermanfaat bagi mereka. Minat dan motif siswa hanya dianggap penting sepanjang membantu proses pembentukan tersebut.
Travelling. Dalam model ini pengajaran dilihat sebagai pembimbingan siswa melalui mata pelajaran. Mata pelajaran dipandang sebagai sesuatu yang menantang dan kadang-kadang sulit untuk dieksplorasi.
Growing. Model ini memfokuskan pengajaran pada pengembangan kecerdasan, fisik, dan emosi siswa. Tugas guru adalah menyediakan situasi dan pengalaman untuk membantu siswa dalam perkembangan mereka. Ini merupakan model yang berpusat pada siswa (a child-centred model), di mana mata pelajaran penting, tidak sebagai tujuan, tetapi sepanjang sesuai dengan kebutuhan siswa dan berada dalam minat siswa.
Menurut Fox, masing-masing model di atas mempunyai pengaruh yang penting pada tindakan dan komitmen guru, dan mendukung terbangunnya etos sekolah. Pertanyaannya, model mana yang seharusnya diikuti oleh kita?
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut perlu kita analisis beberapa hal yang berkaitan dengan pendidikan di bawah ini. Namun sebelumnya, ada baiknya Anda cermati dulu definisi guru sukses agar pemahaman kita lebih menyeluruh.
Hakikat Pendidikan
Secara filosofis universal, pendidikan bertujuan untuk perkembangan individu. Hal ini dapat dilihat dari tujuan pendidikan sebagaimana disampaikan oleh Hamm. Dia merujuk pendapat Hirst tentang hakikat pendidikan, yang kemudian membawanya pada kesimpulan bahwa tujuan pendidikan adalah perkembangan. Sejalan dengan pendapat Hirst tadi, John Dewey mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalan pertumbuhan dan perkembangan.
Sementara itu menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan.
Pendidikan nasional juga berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3).
Berdasarkan uraian di atas, maka pendidikan dapat dikatakan sebagai usaha untuk mengembangkan potensi peserta didik (siswa) agar menjadi manusia yang dicita-citakan, yang dilakukan secara sadar dan terencana. Karena dalam proses pembelajaran sebagai proses pendidikan itu terjadi aktivitas mengajar (oleh guru) dan aktivitas belajar (oleh siswa), maka mengajar dapat dimaknai sebagi upaya pengembangan potensi siswa. Jadi, mengajar berarti mengembangkan potensi siswa. Dengan demikian, dari empat definisi di atas, definisi yang paling sesuai adalah definisi yang terakhir yaitu sebagai penumbuhkembangan potensi siswa (growing).
Pemilihan definisi tersebut mengandung implikasi bahwa dalam proses pembelajaran, guru harus memfasilitasi siswa untuk mengembangkan potensi dirinya: bukan sekadar menyampaikan materi pelajaran. Meskipun di dalamnya juga termasuk penyampaian informasi dan pembentukan, namun proses tersebut dikemas dalam pengembangan, dan berpusat pada siswa. Siswalah yang harus mengembangkan potensinya sendiri, guru hanya memfasilitasi. Karena pendidikan berbentuk proses pembelajaran, yang intinya guru mengajar dan siswa belajar, maka berdasarkan konteks ini, mengajar seyogyanya dimaknai sebagai penumbuhkembangan potensi siswa.
Kenyataannya, banyak guru memaknai mengajar sebagai menyampaikan materi. Hal ini dapat kita amati dalam praksis pembelajaran sehari-hari. Guru mengajar siswa dengan cara menerangkan pelajaran, kemudian siswa diharapkan menguasai materi tersebut. Untuk membuktikan bahwa siswa telah menguasai materi yang diajarkan oleh guru, guru kemudian mengadakan tes atau ulangan. Hasil dari pekerjaan siswa itulah yang dijadikan pedoman untuk menetapkan apakah siswa telah menguasai materi pelajaran atau belum. Akibat dari proses yang demikian adalah bahwa siswa cenderung dijadikan objek uji coba oleh guru. Cek juga tentang perlunya memahami indera belajar siswa ketika mengajar agar kita lebih sukses.
Paradigma Baru
Sesuai dengan tuntutan reformasi, maka pendidikan perlu merujuk pada paradigma nasional, yaitu demokratisasi dan desentralisasi. Pembelajaran demokratis—yang berarti pembelajaran dari siswa, oleh siswa, dan untuk siswa—tidak akan terwujud jika guru menggunakan paradigma mengajar sebagai menyampaikan materi pelajaran. Untuk melengkapi pemahaman Anda tentang apa yang harus dilakukan guru ketika mengajar.
sumber: http://www.gurusukses.com/mengajar-mengembangkan-potensi-siswa
Definisi Mengajar
Fox, seorang ahli pendidikan dari Inggris, menemukan bahwa guru-guru mendefinisikan tujuan mengajar berbeda-beda. Dia mengelompokkan definisi-definisi itu ke dalam empat kategori, yaitu: transfer, shaping, travelling, dan growing (dalam Celdic, 1995:23). Berikut adalah penjelasannya:
Transfer. Dalam model ini, mengajar dilihat sebagai proses pemindahan pengetahuan (process of transferring knowledge) dari seseorang (guru) kepada orang lain (siswa). Siswa (anak) dipandang sebagai wadah yang kosong (empty vessel), dan jika pengetahuan tidak berhasil ditransferkan masalahnya cenderung dilihat sebagai kesalahan siswa.
Shaping. Pengajaran merupakan proses pembentukan siswa pada bentuk-bentuk yang ditentukan. Di sini siswa diajar keterampilan-keterampilan dan cara-cara bertingkah laku yang dianggap bermanfaat bagi mereka. Minat dan motif siswa hanya dianggap penting sepanjang membantu proses pembentukan tersebut.
Travelling. Dalam model ini pengajaran dilihat sebagai pembimbingan siswa melalui mata pelajaran. Mata pelajaran dipandang sebagai sesuatu yang menantang dan kadang-kadang sulit untuk dieksplorasi.
Growing. Model ini memfokuskan pengajaran pada pengembangan kecerdasan, fisik, dan emosi siswa. Tugas guru adalah menyediakan situasi dan pengalaman untuk membantu siswa dalam perkembangan mereka. Ini merupakan model yang berpusat pada siswa (a child-centred model), di mana mata pelajaran penting, tidak sebagai tujuan, tetapi sepanjang sesuai dengan kebutuhan siswa dan berada dalam minat siswa.
Menurut Fox, masing-masing model di atas mempunyai pengaruh yang penting pada tindakan dan komitmen guru, dan mendukung terbangunnya etos sekolah. Pertanyaannya, model mana yang seharusnya diikuti oleh kita?
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut perlu kita analisis beberapa hal yang berkaitan dengan pendidikan di bawah ini. Namun sebelumnya, ada baiknya Anda cermati dulu definisi guru sukses agar pemahaman kita lebih menyeluruh.
Hakikat Pendidikan
Secara filosofis universal, pendidikan bertujuan untuk perkembangan individu. Hal ini dapat dilihat dari tujuan pendidikan sebagaimana disampaikan oleh Hamm. Dia merujuk pendapat Hirst tentang hakikat pendidikan, yang kemudian membawanya pada kesimpulan bahwa tujuan pendidikan adalah perkembangan. Sejalan dengan pendapat Hirst tadi, John Dewey mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalan pertumbuhan dan perkembangan.
Sementara itu menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan.
Pendidikan nasional juga berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3).
Berdasarkan uraian di atas, maka pendidikan dapat dikatakan sebagai usaha untuk mengembangkan potensi peserta didik (siswa) agar menjadi manusia yang dicita-citakan, yang dilakukan secara sadar dan terencana. Karena dalam proses pembelajaran sebagai proses pendidikan itu terjadi aktivitas mengajar (oleh guru) dan aktivitas belajar (oleh siswa), maka mengajar dapat dimaknai sebagi upaya pengembangan potensi siswa. Jadi, mengajar berarti mengembangkan potensi siswa. Dengan demikian, dari empat definisi di atas, definisi yang paling sesuai adalah definisi yang terakhir yaitu sebagai penumbuhkembangan potensi siswa (growing).
Pemilihan definisi tersebut mengandung implikasi bahwa dalam proses pembelajaran, guru harus memfasilitasi siswa untuk mengembangkan potensi dirinya: bukan sekadar menyampaikan materi pelajaran. Meskipun di dalamnya juga termasuk penyampaian informasi dan pembentukan, namun proses tersebut dikemas dalam pengembangan, dan berpusat pada siswa. Siswalah yang harus mengembangkan potensinya sendiri, guru hanya memfasilitasi. Karena pendidikan berbentuk proses pembelajaran, yang intinya guru mengajar dan siswa belajar, maka berdasarkan konteks ini, mengajar seyogyanya dimaknai sebagai penumbuhkembangan potensi siswa.
Kenyataannya, banyak guru memaknai mengajar sebagai menyampaikan materi. Hal ini dapat kita amati dalam praksis pembelajaran sehari-hari. Guru mengajar siswa dengan cara menerangkan pelajaran, kemudian siswa diharapkan menguasai materi tersebut. Untuk membuktikan bahwa siswa telah menguasai materi yang diajarkan oleh guru, guru kemudian mengadakan tes atau ulangan. Hasil dari pekerjaan siswa itulah yang dijadikan pedoman untuk menetapkan apakah siswa telah menguasai materi pelajaran atau belum. Akibat dari proses yang demikian adalah bahwa siswa cenderung dijadikan objek uji coba oleh guru. Cek juga tentang perlunya memahami indera belajar siswa ketika mengajar agar kita lebih sukses.
Paradigma Baru
Sesuai dengan tuntutan reformasi, maka pendidikan perlu merujuk pada paradigma nasional, yaitu demokratisasi dan desentralisasi. Pembelajaran demokratis—yang berarti pembelajaran dari siswa, oleh siswa, dan untuk siswa—tidak akan terwujud jika guru menggunakan paradigma mengajar sebagai menyampaikan materi pelajaran. Untuk melengkapi pemahaman Anda tentang apa yang harus dilakukan guru ketika mengajar.
sumber: http://www.gurusukses.com/mengajar-mengembangkan-potensi-siswa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar