1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. [Qaff : 16]
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ
Dan Kami lebih dekat kepadanya dari kamu. [Al-Waqi’ah : 85]Ahlul takwil melancarkan sybuhat berupa tuduhan kepada Ahlus Sunnah bahwa merekapun telah melakukan takwil terhadap dua ayat di atas, yaitu ketika menafsirkan kata-kata “lebih dekat” yang dimaknai “lebih dekatnya malaikat”.
Jawaban terhadap syubhat itu ialah : “Bahwa penafsiran kata-kata “ Kami lebih dekat” pada dua ayat diatas dengan “dekatnya malaikat” bukanlah takwil, bukan menyelewengkan perkataan dari makna dhahirnya. Dan hal ini akan jelas bagi orang yang merenungkannya.
Penjelasannya sebagai berikut.
1. Tentang Ayat Pertama : Sesungguhnya kata-kata “Kami lebih dekat” pada ayat itu terkait dengan sesuatu yang membuktikan bahwa maksudnya adalah “malaikat yang lebih dekat” karena ayat tersebut berlanjut.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya. Seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qaf : 16-18]
Maka firman Allah : إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ (Yaitu ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya), terdapat dalil bahwa yang dimaksud “lebih dekat” adalah dekatnya dua orang Malaikat yang mencatat amal perbuatannya.
2. Tentang Ayat Kedua : Kata-kata “lebih dekat” pada ayat ini berkaitan dengan keadaan seseorang yang tengah menghadapi sakaratul maut. Ketika seorang sedang menghadapi sakaratul maut, maka yang datang untuk mencabut nyawanya adalah malaikat, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا يُفَرِّطُونَ
Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat (utusan) Kami, dan malaikat-malaikat itu tidak melalaikan kewajibannya. [Al-An’am : 61]
Kemudian pada ayat Al-Waqi’ah : 85, lengkapnya berbunyi.
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ وَلَٰكِن لَّا تُبْصِرُونَ
Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat. [Al-Waqi’ah : 85]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, لَّا تُبْصِرُونَ (kamu tidak melihat) pada ayat itu menyatakan dalil sangat jelas bahwa yang tidak kamu (manusia-pent) lihat adalah para malaikat. Sebab ayat diatas menunjukkan bahwa pencabut nyawa berada sangat dekat dengan manusia, dalam arti ia berada di tempat manusia itu berada, namun manusia tidak dapat melihatnya.
Dengan demikian, yang dekat dan berada di tempat manusia (yang sedang sakaratul maut untuk dicabut nyawanya) tidak lain adalah malaikat. Sebab adalah mustahil jika Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang berada di situ. Maka jelaslah bahwa yang dimaksud “lebih dekat” adalah dekatnya Malaikat.
Tinggal sekarang permasalahannya, yaitu kalau yang dimaksud adalah dekatnya malaikat, mengapa kata-kata “dekat” kemudian disandarkan kepada Allah, yakni : “Kami lebih dekat kepadanya”. Adakah contoh ungkapan lain dalam Al-Qur’an yang menandaskan bahwa sesuatu disandarkan kepada Allah, tetapi maksudnya adalah malaikat?
Jawaban Pertanyaan Pertama.
Karena malaikat itu merupakan tentara dan utusan Allah. Dan dekatnya mereka kepada manusia hanyalah karena perintah Allah. Sehingga ketika mereka dekat dengan manusia, maka diakuinya kedekatan itu sebagai kedekatan Allah kepada manusia.
Jawaban Pertanyaan Kedua.
Memang ada contoh ungkapan lain dalam Al-Qur’an yang menandaskan bahwa sesuatu disandarkan kepada Allah tetapi maksudnya adalah malaikat. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. [Al-Qiyamah : 18]
Disini Allah mengatakan : “Bila Kami (Allah) telah selesai membacakannya”. Sedangkan yang dimaksud adalah : “Bila malaikat Jibril telah selesai membacakan Al-Qur’an kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Sekalipun diakuinya bacaan itu sebagai bacaan yang disandarkan kepada Allah dengan firmanNya : Apabila Kami (Allah) telah selesai membacakannya” . Mengapa ? Sebab ketika Jibril membacakan Al-Qur’an kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanyalah semata-mata karena perintah Allah. Dengan demikian, boleh saja jika kemudian Allah mengklaim bahwa bacaan Jibril tersebut sebagai bacaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Begitu pula misal yang terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَلَمَّا ذَهَبَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ الرَّوْعُ وَجَاءَتْهُ الْبُشْرَىٰ يُجَادِلُنَا فِي قَوْمِ لُوطٍ
Maka tatkala rasa takut telah hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, diapun bersoal-jawab dengan Kami tentang kaum Luth. [Hud : 74]
Kata-kata : يُجَادِلُنَا (bersoal jawab dengan Kami/Allah) maksudnya adalah bersoal jawab dengan para malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diutus untuk menemui Ibrahim
Kesimpulan:
Dua ayat dalam surat Qaaf 16 dan surat Al-Waqi’ah : 85 di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa “Kami (Allah) lebih dekat”, maksudnya adalah “malaikat lebih dekat” karena dekatnya malaikat merupakan perintah Allah. Dan penafsiran ini bukan takwil terhadap ayat-ayat sifat dan bukan pula pengalihan makna dari makna dzahirnya, berdasarkan penjelasan yang sudah dikemukakan di muka. Alhamdulillah.
Sementara itu syubhat lain yang dituduhkan oleh ahlu takwil bahwa Ahlus Sunnah juga melakukan takwil, adalah berkenan dengan firman Allah tentang perahunya Nabi Nuh Alaihissallam pada surat al-Qamar.
تَجْرِي بِأَعْيُنِنَا
Yang (perahu itu) berlayar dengan pengawasan mata Kami. [Al-Qamar : 14]
Dan berkenaan dengan firman Allah kepada Musa dalam surat Thaha.
وَلِتُصْنَعَ عَلَىٰ عَيْنِي
Dan supaya engkau (Musa) diasuh dibawah pengawasan mata-Ku. [Thaha : 39]
Ahlu takwil menuduh bahwa Ahlus Sunnah pun melakukan takwil ketika menafsirkan kedua ayat tersebut di atas. Tuduhan ahlu takwil bahwa Ahlus Sunnah melakukan takwil pada ayat diatas, jelas tidak benar.
Keterangannya adalah sebagai berikut : Bahwa dua ayat diatas diartikan dibawah/dengan pengawasan mata Allah adalah pengertian/penafsiran yang benar yang sesuai dengan dhahirnya ayat dan sesuai dengan hakikatnya.
Tetapi yang perlu dijelaskan ialah tentang maksud dhahir dan hakikat ayat di atas.
Apakah yang dimaksud dengan dhahir dan hakikat ayat di atas lantas dikatakan bahwa perahunya Nabi Nuh berlayar di dalam mata Allah dan bahwa Musa diasuh diletakkan di atas mata Allah? (sebab pada kasus perahu Nabi Nuh, ayatnya berbunyi بِأَعْيُنِنَا bi’a’yunina dengan ba’, sedangkan pada kasus Nabi Musa, ayatnya berbunyi : ‘ala ‘ainiy عَلَىٰ عَيْنِي dengan ‘ala عَلَىٰ.
Jelas jika itu yang dimaksudkan dengan dhahir dan hakikat ayat, maka tidak ragu lagi bahwa pemahaman itu adalah pemahaman yang batil, berdasarkan beberapa alasa berikut.
1 Bahwa pemahaman tentang dhahirnya ayat seperti pemahaman di atas adalah pemahaman yang tidak sesuai dengan tuntutan pembicaraan bahasa Arab. Padahal Al-Qur’an turun dengan berbahasa Arab.
Allah berfirman.
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya Kami menurukannya sebagai Al-Qur’an (bacaan) yang berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. [Yusuf : 2]
وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ
Al-Qur’an itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas. [Asy-Syu’araa : 192-195]
Ketika ada seorang berbicara dalam bahasa Arab : بعين (bi’aini, dengan huruf ba’), tidak seorangpun yang memahami bahwa Fulan berjalan di dalam matanya. Tetapi yang dipahaminya ialah Fulan berjalan di bawah pengawasan (mata)nya. Begitu pula ketika ada seseorang yang berbicara dalam bahasa Arab : عل عين (‘ala ‘aini, dengan ‘ala), juga tidak ada seorangpun yang memahami bahwa Fulan telah lulus dalam keadaan ia naik di atas mata orang yang berbicara. Tetapi yang dipahaminya ialah bahwa Fulan telah lulus si bawah pengawasan (mata)nya. Jika ada orang yang nekad bahwa pemahamannya terhadap dhahir suatu perkataan adalah seperti pemahaman di atas, maka tentu akan ditertawakan oleh orang-orang bodoh sekalipun. Apalagi oleh orang-orang yang berakal.
2. Bahwa pemahaman terhadap dhahirnya ayat dengan pemahaman seperti di atas, adalah sangat mustahil. Tidak mungkin orang yang betul-betul memahami Allah dan mengerti ke Maha Luhuran Allah, mempunyai pemahaman demikian, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas Arsy, berada tinggi di atas segenap makhluk-Nya. Tidak ada sesuatupun di antara makhluk-Nya yang menempel pada Allah dan tidak pula Allah menempati sesuatupun di antara makhluk-Nya. Maha Suci Allah dari semuanya itu.
Nah, jika pemahaman terhadap dhahirnya ayat tidak demikian, maka menjadi jelaslah bahwa pemahaman terhadap dhahirnya ayat adalah bahwa perahunya Nabi Nuh berlayar, sedangkan mata Allah senantiasa mengawasi dan memeliharanya.
Begitu pula Nabi Musa. Beliau diasuh sedangkan mata Allah selalu melihat, mengawasi dan memeliharanya.
Dengan demikian pemahaman dhahir terhadap nash di atas seperti pemahaman yang pertama jelas batil. Dan pemahaman yang benar adalah pemahaman yang kedua. Dan itu tidak berarti mengalihkan perkataan dari makna yang sesuai dengan dhahirnya. Maka terbantahlah sudah syubhat ahlu bid’ah yang menuduh Ahlus Sunnah juga telah melakukan takwil. Syubhat yang dilancarkan dalam rangka membenarkan tindakan batil mereka. Alhamdulillah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun IV/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar