Rabu, 16 Oktober 2013

Ingat Efeknya... Biarkan Anak Tumbuh Sesuai Usianya!

Oleh: Ratih Zulhaqi

Berbicara tentang tahap tumbuh-kembang anak terbagi menjadi beberapa fase. Pertama, usia anak 0 bulan sampai 2 tahun. Ini adalah fase paling membutuhkan stimulasi motorik, karena pada fase ini anak akan banyak melalui kemampuan-kemampuan motorik kasar, seperti tengkurap, duduk, merangkak dan berjalan.
Namun, selain stimulasi difokuskan pada perkembangan motorik anak, orang tua juga perlu memberikan stimulasi awal bahasa. Setelah 2 tahun, fase menuju fokus stimulus bahasa dengan tujuan interaksi dan komunikasi sebagai persiapan menuju usia 3 tahun, yaitu fase interaksi dan sosialisasi. Pada fase ini, anak sudah mengerti keberadaan teman.

Memasuki usia 4 tahun, anak berada dalam usia kemandirian. Di sini anak mulai diperkenalkan aturan kemandirian dan tanggung jawab, misalnya memakai sepatu dan makan sendiri. Sedangkan pada usia 5 tahun, anak dipersiapkan memasuki sekolah dasar, tetapi tidak bersifat memaksa.

Fase berikutnya adalah usia 6 tahun, yaitu usia anak mulai melakukan pendidikan formal. Pada usia ini sudah ada aturan yang jelas, yaitu belajar di dalam kelas dan tidak lagi banyak main-main walaupun masih ada sisi bermainnya.

Belum saatnya

Kondisi yang terjadi di Indonesia, khususnya di Jakarta, saat ini adalah banyaknya anak usia taman kanak-kanak (TK) sudah diajarkan membaca, menulis dan berhitung (calistung). Tentunya, jika hal ini dipaksakan, tidak akan efektif dan pasti akan ada efeknya mengingat anak pada usia prasekolah akan optimal jika diberi stimulasi atau rangsangan motorik dan bahasa sesuai fase tumbuhkembang anak.

Faktanya, tidak akan ada bedanya antara anak yang bisa membaca pada umur 4 tahun dengan anak bisa membaca di usia 6 tahun. Hal itu tidak lantas membuat anak umur 4 tahun ini menjadi superior. Justru, biarkan mereka bisa pada saatnya, karena di situlah keindahannya. Sebaiknya lakukan stimulasi sesuai dengan usia anak, namun hal ini dikembalikan pada pola asuh yang diterapkan orangtua.

Saat ini banyak ditemukan kasus efek dari anak diperkenalkan calistung pada usia dini. Misalnya, anak mogok sekolah, cepat merasa bosan, dan kurang konsentrasi belajar.

Anak belum mempunyai kesiapan mental walau secara daya pikir anak usia 3 tahun pun bisa untuk diajari membaca dengan penuh semangat. Idealnya, kembalikan hak anak kepada situasi yang sesuai dengan kondisi psikis anak, yaitu jika memang seharusnya membaca itu diajarkan di kelas 1 SD.

Perlu atau tidak anak mengikuti kegiatan prasekolah disesuaikan dengan kondisi dan keadaan, seperti dimana tempat anak itu tinggal, maupun ada tidak seseorang yang memberikan stimulasi.

Anak yang tinggal di lingkungan yang banyak anak kecil seusianya dan mereka bisa bermain, tidak perlu ikut prasekolah seperti kelompok bermain atau TK A. Sementara, TK B agak penting karena cenderung memberi pengenalan dan pesiapan untuk memasuki SD.

Kondisinya saat ini, banyak orang tua yang bekerja dan tidak mempunyai banyak waktu untuk mengajari anaknya, sehingga mereka memasukkan anaknya ke institusi yang sifatnya lembaga seperti TK.

Mengenai bentuk penguasaan bahasa, diperbolehkan selama anak sudah memegang satu bahasa yang sudah dikuasai. Namun, sebaiknya orangtua fokus terlebih dahulu mengajarkan anak satu bahasa utama, kemudian diperkenalkan dengan bahasa lainnya seperti bahasa Arab, Inggris, ataupun bahasa daerah. Jika memang anak belum bisa, dapat kembali berkomunikasi menggunakan bahasa ibu.

Kecerdasan bahasa memang penting. Namun, harus ada bahasa yang total dikuasai terlebih dahulu sebagai pegangan.

Problematika anak

Masalah anak yang paling umum ditemui adalah konsentrasi sebagai kemampuan dasar yang harus dimiliki ketika anak memasuki SD. IQ tinggi, tetapi jika konsentrasinya rendah, maka prestasinya pun tidak akan menonjol di sekolah.

Selanjutnya, mengenai hal taat aturan. Anak-anak membutuhkan latihan yang diberikan sejak usia 3 tahun agar mereka terbiasa dengan aturan. Jadi, ketika di SD mereka di kelas tahu saat harus diam dan tidak mengobrol, karena mereka terbiasa dengan aturan. Jika tidak terbiasa, maka mereka akan selalu melanggar aturan.

Masalah lain adalah kesulitan belajar. Tetapi, ini bentuknya lebih organis karena menyangkut gangguan pada fungsi otak. Anak yang mempunyai masalah ini dapat diatasi dengan perlakuan yang sesuai dengan diagnosisnya.

Hal lainnya adalah adanya kelas akselerasi. Ada beberapa kasus yang ditemui ketika anak 15 tahun sudah menginjak kelas 3 SMA, ternyata anak itu mulai menyadari dan mempertanyakan kapan waktu bermainnya. Di sisi lain, anak tersebut terlihat lebih "anak-anak" dibandingkan teman sekolahnya. Usia dan pola pikir si anak berbeda dengan teman-temannya.

Anak di lingkungan demikian sering merasa tertekan dan menjadi korban kekerasan. Walau bedanya hanya 3 tahun lebih muda dari usia normal kelas 3 SMA (17-18 tahun), namun anak itu merasa beban ketika dianggap sebagai orang dewasa.

Selanjutnya, sekolah rumah atau homeschooling, juga mempunyai efek positif dan negatif untuk anak. Positifnya, keamanan anak terjamin dan terpantau dalam jangkauan pengamatan orangtua. Anak juga fleksibel dalam waktu belajar, dan lebih mendapat perhatian oleh gurunya.

Namun, tentu, ada sisi negatifnya. Kesempatan mereka untuk bersosialisasi dan belajar berbagi terbilang rendah, termasuk kemampuan dalam hal yang sifatnya pertemanan lebih sedikit. Walaupun kebanyakan pertimbangan sekolah rumah itu masalah fleksibelitas waktu belajar, anak-anak secara tidak langsung didukung untuk "tidak bertanggung jawab" terhadap yang mereka lakukan.

Misalnya, anak-anak yang berprofesi sebagai artis, mereka tidak harus bekerja di usianya. Hal ini erat kaitannya dengan eksplorasi anak sehingga tidak benar terlepas dari apapun tujuannya.

Pemerintah sudah menetapkan usia wajib belajar. Jadi, minimal sampai anak menyelesaikan usia wajib belajar, mereka tidak diwajibkan untuk bekerja. Fokus mereka adalah di belajar. Tidak menjadi masalah jika sekolah rumah tujuannya untuk alasan keamanan. Tetapi, jika tujuannya untuk anak bekerja, itu jelas tidak dibenarkan.

Gambaran Ideal

Generasi emas adalah generasi yang optimal, tanggap, serta mendapatkan stimulasi sesuai perkembangan dan kemampuannya, baik perkembangan fisik maupun psikisnya. Tidak akan efektif jika memberikan stimulasi tidak sesuai usianya.

Contohnya, ketika orangtua berkomunikasi dengan anak terkait dengan stimulasi bahasa, anak tidak hanya diminta membaca buku cerita sementara orang tua mendengarkan. Tetapi, sebaiknya orangtua berkomunikasi secara efektif, misalnya membacakan cerita dengan mimik, gerak, sehingga anak lebih tertarik dengan bacaannya.

Idealnya, tentu saja, kemampuan anak harus sesuai dengan umurnya. Kondisi sekarang, ketika pelajaran kelas 1 SD sudah sudah diajarkan pada prasekolah, pada akhirnya akan membentuk generasi drilling, bukan generasi emas lagi.

Peran guru (prasekolah) adalah memperkenalkan sesuatu kepada anak dan menjadi jembatan. Hal ini mengingat, bahwa usia prasekolah tahap berfikirnya adalah tahap konkrit, dimana segala sesuatu itu harus ada contohnya. Misalnya, memberi contoh kerapihan, cara menyusun buku, membereskan mainan, dan lain sebagainya. Selain itu, guru juga perlu memahami usia perkembangan anak sebagai pedoman untuk membuat kurikulum.

Berbagi Saran

Jangan lupa, dalam hal parenting, ajari anak dengan konsekuensi, bukan dengan hukuman atau marah-marah. Misal, aturannya mandi dahulu baru menonton televisi. Konsekuensi yang ada adalah jika tidak mandi, tidak akan mendapatkan menonton televisi.

Orangtua pun semestinya mengetahui tahap tumbuhkembang anak. Jangan pernah menutup telinga terhadap hal-hal yang sifatnya baik dan sesuai dengan kebutuhan anak.

Selain itu, pengenalan budaya sejak dini sangat penting karena sangat mendukung pengembangan motorik, seperti tarian daerah. Selain itu, seni drama juga dapat merangsang kemampuan berkomunikasi atau bermain peran. Anak terbiasa dilatih mengasah kemampuan individu, termasuk berkomunikasi dengan lingkungan. Seni pahat dan seni batik pun dapat melatih ketelitian dan konsentrasi.

Bagi pemerintah, perlu kiranya memberi sanksi yang tegas kepada sekolah yang tidak mengindahkan aturan batasan pengajaran. Usia dini tidak seharusnya menguasai calistung hanya karena sekolah mengejar faktor ekonomi. Untuk itu, mulailah disadari, bahwa hak anak harus diperhatikan. Biarkanlah mereka tumbuh dan menikmati masa anak-anaknya yang sesuai dengan usianya. (ARIFAH)

Penulis adalah psikolog anak di Klinik Terpadu, Universitas Indonesia 

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...