Rahmat misalnya, hafidz (penghafal Al-Qur'an) tunanetra yang ikut di cabang gede, yaitu tingkat 20 juz Al-Qur’an. Peserta MHQH 2011 utusan pondok pesantren Miftahul Jannah, Sumbergede, Lampung Timur, Lampung ini mengaku bahwa menghafal Al-Qur’an memang sulit. Namun ketika sudah menguasainya terasa nyaman.
“Enak, karena mampu menjaganya,” ujar hafidz yang telah meraih beberapa prestasi di berbagai lomba hafalan Al-Qur’an ini. Rahmat pernah merengkuh juara satu lomba hafal Al-Qur’an untuk 5 juz se-Provinsi Lampung (2006), 10 juz (2007), 20 juz (2008-2009) dan baru-baru ini 30 juz.
Untuk tidak melepasnya, dia selalu mengulang-ulang hafalan. “Tiap hari, pagi siang, malam dan sore, Al-Qur’an tidak boleh lepas,” ujar pria kelahiran 5 Maret 1990 ini.
Pantangan bagi seorang penghafal? “Nggak boleh mengerjakan yang jelek-jelek!,” jawabnya singkat kepada Hidayatullah.com (19/6).
Meski tidak bisa melihat, Rahmat mulai menghafal Al-Qur’an sejak lima tahun lalu. Setiap tahunnya, dia mengaku punya target tersendiri dalam menguasai hafalan.
Lain lagi dengan Hudzaifah, peserta MHQH cabang 15 juz. Meski belum menorehkan prestasi juara, bocah belia yang mengaku mulai menghafal Al-Qur’an sejak kelas dua SD ini punya kiat tersendiri dalam menjaga hafalannya, yaitu taat kepada orang tua.
Suatu ketika, tutur Hudzaifah, orang tuanya melarang dia melihat aurat wanita. Akan tetapi, dia ceroboh tidak mengindahkan larangan tersebut. Dampaknya, kata hafidz perwakilan Ponpes Al-Matuq, Sukabumi, Jawa Barat ini, hafalannya langsung hilang.
Kiat lainnya dalam menghafal ayat perayat, dia membaca sepuluh kali berulang-ulang ketika duduk.
Selain itu, salah satu hal yang harus dihindari seorang penghafal Al-Qur’an, menurut Hudzaifah adalah musik. Sebab, bagi anak kelahiran 20 Mei 1996 ini, mendengarkannya sangat berpengaruh bagi hafalan.
“Bisa menjadikan musik lebih banyak dari pada hafalan Al-Qur’an kita,” imbuhnya. Hudzaifah sendiri sudah mengurangi mendengarkan musik sejak dilarang orang tuanya.*
sumber:hidayatullah
“Enak, karena mampu menjaganya,” ujar hafidz yang telah meraih beberapa prestasi di berbagai lomba hafalan Al-Qur’an ini. Rahmat pernah merengkuh juara satu lomba hafal Al-Qur’an untuk 5 juz se-Provinsi Lampung (2006), 10 juz (2007), 20 juz (2008-2009) dan baru-baru ini 30 juz.
Untuk tidak melepasnya, dia selalu mengulang-ulang hafalan. “Tiap hari, pagi siang, malam dan sore, Al-Qur’an tidak boleh lepas,” ujar pria kelahiran 5 Maret 1990 ini.
Pantangan bagi seorang penghafal? “Nggak boleh mengerjakan yang jelek-jelek!,” jawabnya singkat kepada Hidayatullah.com (19/6).
Meski tidak bisa melihat, Rahmat mulai menghafal Al-Qur’an sejak lima tahun lalu. Setiap tahunnya, dia mengaku punya target tersendiri dalam menguasai hafalan.
Lain lagi dengan Hudzaifah, peserta MHQH cabang 15 juz. Meski belum menorehkan prestasi juara, bocah belia yang mengaku mulai menghafal Al-Qur’an sejak kelas dua SD ini punya kiat tersendiri dalam menjaga hafalannya, yaitu taat kepada orang tua.
Suatu ketika, tutur Hudzaifah, orang tuanya melarang dia melihat aurat wanita. Akan tetapi, dia ceroboh tidak mengindahkan larangan tersebut. Dampaknya, kata hafidz perwakilan Ponpes Al-Matuq, Sukabumi, Jawa Barat ini, hafalannya langsung hilang.
Kiat lainnya dalam menghafal ayat perayat, dia membaca sepuluh kali berulang-ulang ketika duduk.
Selain itu, salah satu hal yang harus dihindari seorang penghafal Al-Qur’an, menurut Hudzaifah adalah musik. Sebab, bagi anak kelahiran 20 Mei 1996 ini, mendengarkannya sangat berpengaruh bagi hafalan.
“Bisa menjadikan musik lebih banyak dari pada hafalan Al-Qur’an kita,” imbuhnya. Hudzaifah sendiri sudah mengurangi mendengarkan musik sejak dilarang orang tuanya.*
sumber:hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar