Tak banyak orang yang ingin menjadi guru. Terkadang ada yang memilih bekerja sebagai guru karena tak diterima atau tak mendapat pekerjaan di bidang lain. Padahal, menjadi guru adalah panggilan jiwa untuk mengabdi. Hal ini diungkapkan oleh pemerhati anak dan pendidikan, Slamet Raharjo, dalam acara Hari Guru Nasional di SDN II Cideng, Jakarta, Jumat (25/11/2011). "Banyak itu yang bekerja jadi guru karena tidak lulus dalam pekerjaan lain. Padahal keinginan untuk menjadi guru itu dimulai sejak awal, dengan memilih jurusan atau sekolah keguruan. Menjadi guru itu mulai dari hati," ujar Slamet.
Pengalaman banting setir dari cita-cita lain hingga akhirnya menjadi seorang guru ini dilontarkan juga oleh Kepala Sekolah SDN II Cideng, Wahyudin, yang telah 34 tahun menjadi seorang guru. Ia menyatakan, awalnya ia ingin menjadi seorang dokter, tapi karena kemampuan keluarga yang saat itu tak mendukung, ia pun memilih masuk sekolah khusus keguruan. Dari situ ia belajar mengabdi menjadi guru yang melimpahkan tenaganya untuk anak didiknya.
"Setelah 10 tahun mengajar saya tahu bahwa jalan hidup saya memang menjadi seorang guru. Oleh karena itu, generasi muda jika ingin memilih profesi sebagai seorang guru, tetapkanlah hati terlebih dulu sebelum melangkah," tutur Wahyudin.
Semakin sedikitnya jumlah generasi muda yang ingin menjadi guru membuat Wahyudin khawatir. Ia tak tahu, siapa lagi yang akan menggantikan sosok guru-guru masa depan yang bersedia mengabdi untuk anak-anak bangsa. "Apa yang terjadi 15 tahun ke depan jika tak ada yang ingin menjadi guru. Kita bisa ingat kisah ketika Perang Dunia II, saat kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom. Kaisar Jepang tidak bertanya berapa jenderal yang tersisa, tapi bertanya berapa guru yang masih ada dan dikumpulkan. Itu menunjukkan betapa pentingnya seorang guru," ucapnya.
Selain Wahyudin, pengalaman saat bercita-cita menjadi guru juga diungkapkan oleh Jamilah (45), seorang guru dari SD Jati Pulo, Jakarta. Jamilah menyatakan, sejak menginjak bangku sekolah dasar ia sangat kagum pada sosok guru. Ia ingin menjadi guru karena ia senang mempelajari karakter setiap orang, dalam hal ini siswa-siswi yang akan ditemuinya di sekolah. Oleh karena itu, ia mulai melibatkan diri untuk masuk dalam dunia pendidikan. Enam tahun ia menjadi guru taman kanak-kanak sebagai guru ekstrakurikuler. Melatih anak-anak menari dan menyanyi.
"Setelah itu, saya ingin menjadi seorang guru SD. Saya kemudian sekolah lagi di sekolah jurusan keguruan. Sambil mengajar di SD Jati Pulo. Alhamdulillah, saya berhasil menyelesaikan sekolah saya dan menjadi guru seutuhnya untuk mengabdi pada anak didik saya," tutur Jamilah.
Ditanya kendala menjadi seorang guru ia menyatakan hanya sesekali perbedaan pendapat antara guru dan orangtua. Terkadang guru ingin mengajarkan sopan santun maupun sikap baik terhadap anak. Tetapi orangtua belum tentu dapat mendukungnya. Ia menilai hal itu wajar adanya. Hanya itu kendala yang dihadapinya. Sisanya, ia bahagia menjadi seorang guru dan menikmati profesi tersebut. "Selama kita mencintai pekerjaan kita dan menjalankannya dengan hati, pekerjaan menjadi guru ini menjadi sangat berarti. Guru adalah pekerjaan mulia," sambung Jamilah.
Generasi muda jangan takut menjadi guru karena dibayang-bayangi gaji yang kecil. Menurut seorang guru dari SD Lemule, Jakarta Barat, Sintawati (60), guru kini mulai diperhatikan oleh pemerintah dengan memberikan tunjangan dan tambahan penghasilan melalui sertifikasi. "Kan, ada sertifikasi yang sangat membantu kami para guru. Pemerintah mulai memperhatikan itu, jadi sekarang nasib guru sudah sedikit lebih baik. Meskipun sertifikasi yang dicairkan sering terlambat," ujar Sintawati sambil tersenyum.
Nilai penting yang ingin dibagikan ketiga guru ini kepada generasi muda adalah guru adalah sebuah profesi. Melalui hatinya guru mengajar kebaikan untuk murid-muridnya. "Saya berharap pada guru-guru yang muda agar mereka mau mengajar dengan hati. Jangan melihat anak didik seperti botol kosong. Yang mana guru hanya mengisi mereka. Tapi, guru harus bertindak sebagai fasilitator mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak agar mereka menjadi manusia yang berguna," ujar Wahyudin.
sumber:kmps
Jika ingin memilih profesi sebagai seorang guru, tetapkanlah hati terlebih dulu sebelum melangkah.
-- Wahyudin
Pengalaman banting setir dari cita-cita lain hingga akhirnya menjadi seorang guru ini dilontarkan juga oleh Kepala Sekolah SDN II Cideng, Wahyudin, yang telah 34 tahun menjadi seorang guru. Ia menyatakan, awalnya ia ingin menjadi seorang dokter, tapi karena kemampuan keluarga yang saat itu tak mendukung, ia pun memilih masuk sekolah khusus keguruan. Dari situ ia belajar mengabdi menjadi guru yang melimpahkan tenaganya untuk anak didiknya.
"Setelah 10 tahun mengajar saya tahu bahwa jalan hidup saya memang menjadi seorang guru. Oleh karena itu, generasi muda jika ingin memilih profesi sebagai seorang guru, tetapkanlah hati terlebih dulu sebelum melangkah," tutur Wahyudin.
Semakin sedikitnya jumlah generasi muda yang ingin menjadi guru membuat Wahyudin khawatir. Ia tak tahu, siapa lagi yang akan menggantikan sosok guru-guru masa depan yang bersedia mengabdi untuk anak-anak bangsa. "Apa yang terjadi 15 tahun ke depan jika tak ada yang ingin menjadi guru. Kita bisa ingat kisah ketika Perang Dunia II, saat kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom. Kaisar Jepang tidak bertanya berapa jenderal yang tersisa, tapi bertanya berapa guru yang masih ada dan dikumpulkan. Itu menunjukkan betapa pentingnya seorang guru," ucapnya.
Selain Wahyudin, pengalaman saat bercita-cita menjadi guru juga diungkapkan oleh Jamilah (45), seorang guru dari SD Jati Pulo, Jakarta. Jamilah menyatakan, sejak menginjak bangku sekolah dasar ia sangat kagum pada sosok guru. Ia ingin menjadi guru karena ia senang mempelajari karakter setiap orang, dalam hal ini siswa-siswi yang akan ditemuinya di sekolah. Oleh karena itu, ia mulai melibatkan diri untuk masuk dalam dunia pendidikan. Enam tahun ia menjadi guru taman kanak-kanak sebagai guru ekstrakurikuler. Melatih anak-anak menari dan menyanyi.
"Setelah itu, saya ingin menjadi seorang guru SD. Saya kemudian sekolah lagi di sekolah jurusan keguruan. Sambil mengajar di SD Jati Pulo. Alhamdulillah, saya berhasil menyelesaikan sekolah saya dan menjadi guru seutuhnya untuk mengabdi pada anak didik saya," tutur Jamilah.
Ditanya kendala menjadi seorang guru ia menyatakan hanya sesekali perbedaan pendapat antara guru dan orangtua. Terkadang guru ingin mengajarkan sopan santun maupun sikap baik terhadap anak. Tetapi orangtua belum tentu dapat mendukungnya. Ia menilai hal itu wajar adanya. Hanya itu kendala yang dihadapinya. Sisanya, ia bahagia menjadi seorang guru dan menikmati profesi tersebut. "Selama kita mencintai pekerjaan kita dan menjalankannya dengan hati, pekerjaan menjadi guru ini menjadi sangat berarti. Guru adalah pekerjaan mulia," sambung Jamilah.
Generasi muda jangan takut menjadi guru karena dibayang-bayangi gaji yang kecil. Menurut seorang guru dari SD Lemule, Jakarta Barat, Sintawati (60), guru kini mulai diperhatikan oleh pemerintah dengan memberikan tunjangan dan tambahan penghasilan melalui sertifikasi. "Kan, ada sertifikasi yang sangat membantu kami para guru. Pemerintah mulai memperhatikan itu, jadi sekarang nasib guru sudah sedikit lebih baik. Meskipun sertifikasi yang dicairkan sering terlambat," ujar Sintawati sambil tersenyum.
Nilai penting yang ingin dibagikan ketiga guru ini kepada generasi muda adalah guru adalah sebuah profesi. Melalui hatinya guru mengajar kebaikan untuk murid-muridnya. "Saya berharap pada guru-guru yang muda agar mereka mau mengajar dengan hati. Jangan melihat anak didik seperti botol kosong. Yang mana guru hanya mengisi mereka. Tapi, guru harus bertindak sebagai fasilitator mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak agar mereka menjadi manusia yang berguna," ujar Wahyudin.
sumber:kmps
Tidak ada komentar:
Posting Komentar