Rabu, 07 Maret 2012

Pelajaran Hidup dari Guru BP

Oleh Sabrul Jamil

Ibu saya adalah seorang guru BP di salah satu SMP Negeri di pinggiran Jakarta. Sebagai guru BP, hampir setiap hari beliau membawa cerita menarik seputar pengalaman beliau menghadapi siswa-siswinya. Anda tentu tahu, sering kali siswa-siswi yang berhadapan dengan guru BP adalah siswa-siswi yang bermasalah.

Baru-baru ini beliau menceritakan satu pengalaman menarik. Salah satu dari sekian banyak pengalaman yang kurang lebih serupa.

Salah seorang siswa tercatat sudah beberapa kali tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Beberapa surat sudah dilayangkan. Akhirnya, karena surat tidak terjawab, ibu saya mendatangi rumah siswa tadi, guna mendapatkan informasi objektif.

Sesampai di rumah siswa tersebut (yang agak sulit ditemukan), ternyata si siswa berada di rumah, dan memang selama membolos anak ini hanya berada di rumah alias tidak ke mana-mana. Siswa ini mengaku tidak masuk karena dipengaruhi teman-teman di lingkungannya. Surat-surat dari sekolah dia tahan, tak disampaikan ke orang tuanya.

Lalu, ke mana orang tuanya?

Bapaknya adalah pengangguran. Kerjanya cuma luntang lantung ke sana kemari. Ibunya buruh cuci, yang sejak pagi buta sampai senja mencuci dan menyeterika di beberapa rumah. Betapa marah dan kecewanya sang ibu begitu mengetahui anaknya selama ini membolos. Para tetangga sampai ikut melerai agar sang ibu tidak kalap.

Pembaca budiman, sebagaimana sudah saya sebutkan sebelumnya, cerita di atas hanyalah satu di antara sekian banyak cerita lainnya yang kurang lebih serupa: kisah anak yang bermasalah (tidak masuk sekolah, menyelewengkan uang bayaran, narkoba, pergaulan bebas), dan orang tua yang kurang berdaya secara ekonomi (buruh cuci, kuli bangunan, tukang becak, penjaja kue).

Nasib seolah mempermainkan orang-orang ini. Lingkaran kemiskinan dan kebodohan seakan tak bisa lepas dan senantiasa menghantui. Jangankan untuk menjadi terpandang secara sosial ekonomi, untuk sekedar hidup rata-rata saja sudah sulit.

Adakah kisah yang berbeda? Kisah yang menceritakan perjalanan sukses anak manusia yang berangkat dari kemiskinan?

Alhamdulillah, dalam konteks kasus yang dihadapi ibu saya, ada beberapa kisah yang layak disyukuri. Tidak semua anak dari latar belakang keluarga kurang mampu harus tenggelam dalam masalah. Ada beberapa anak (yang sayangnya jumlahnya lebih sedikit) yang berhasil melewati situasi sulit, dan kini relatif lepas dari belenggu masa lalu yang morat marit.

Ada anak tukang kue yang sekarang menjadi wiraswastawan (buka rumah makan dan rental komputer). Ada anak perantauan yang semula harus rela tidur di gardu-gardu ronda, kini sudah menjadi bintara TNI. Ada anak tukang bangunan yang kini sudah menjadi guru di sekolah negeri (dan beberapa hari yang lalu baru saja menikah), dan akhirnya menjadi PNS, bahkan sanggup membeli rumah.

Pembaca budiman, bagi saya, kisah sukses kecil-kecilan ini selain patut disyukuri, juga mengajarkan bahwa bukan nasiblah yang mempermainkan kita, namun sikap kita terhadap hiduplah yang seolah menjadi ‘takdir’ bagi kehidupan kita sendiri.
‘Contoh buruk’ dan ‘contoh baik’ tadi mengajarkan bahwa kitalah yang bertanggung jawab terhadap kehidupan kita, bukan orang lain, bukan sekolah, bukan pula lingkungan.

Orang yang gagal dalam kehidupan cenderung menyalahkan segala sesuatu kecuali dirinya sendiri. Banyak variasi masalahnya; gagal ujian (gurunya ngajarnya nggak enak), bolos sekolah (diajak teman), diprotes klien (kliennya cerewet), ditegur atasan (atasan merasa benar sendiri), dikeluhkan rekan sejawat (rekannya enggak bisa kerja sama), diprotes anak buah (anak buah enggak kompeten), sering bertengkar dengan suami/isteri (suami/isteri kurang pengertian), dan sederet kasus lain yang bisa Anda tambahkan sendiri. Dalam setiap kasus, selalu terbuka kemungkinan untuk melemparkan ‘tanggung jawab’ kepada pihak lain.

Pembaca yang baik, saya bukan hendak mengatakan bahwa orang atau situasi di luar kita pasti benar, dan selalu kita yang salah. Bukan itu maksud saya. Memang mungkin terbukti bahwa guru kita mengajarnya kurang enak, atau teman-teman memang mengajak bolos, atau klien memang ternyata cerewet, atau atasan memang terbukti otoriter, atau rekan sejawat kenyataannya memang sulit diajak kerja sama, atau anak buah kita terbukti tidak kompeten. Itu semua bisa jadi benar. Namun yang hendak saya garis bawahi adalah bagaimana kita menyikapi itu semua.

Saya pernah diajar dosen yang menurut saya sama sekali tidak enak cara mengajarnya. Pikiran saya dipenuhi rasa kecewa, dan akibatnya memang nilai saya jelek. Saya segera mencari pembenaran, bahwa saya cuma korban dari ketidakbecusan dosen mengajar. Artinya, saya melempar tanggung jawab (atau nasib saya) ke orang lain (si dosen tersebut). Namun ada teman yang ternyata memperoleh nilai sempurna. Dia menyadari masalah penguasaan mata kuliah adalah tanggung jawabnya. Dia juga berpendapat bahwa dosen tadi mengajarnya tidak enak. Namun dia menyikapinya dengan cara yang berbeda. Dia mencari bantuan dari kakak kelas, dan mencari literatur lain yang membantu meningkatkan pemahamannya. Segala yang dia lakukan itu sebetulnya bisa juga saya lakukan (namun toh tidak saya lakukan, karena pikiran saya yang negatif). Hasil akhirnya: nilainya A, sedangkan saya E. Perbedaan cara kami dalam memandang masalah menghasilkan perbedaan ‘nasib’ yang luar biasa.

Dari sekian uraian di atas, dapatlah kita menyimpulkan bahwa cara kita memandang masalah boleh jadi adalah pangkal dari masalah itu sendiri.
Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...