(Ketua Bidang II DPP Wahdah Islamiyah/Ketua YPWI)
Wahdah Islamiyah (WI) adalah sebuah lembaga dakwah Islam yang sepanjang sejarah keberadaannya sangat concern terhadap urusan pendidikan. Sejak masih berbentuk yayasan, mulai dengan nama Yayasan Fathul Mu'in (YFM) lalu berubah menjadi Yayasan Wahdah Islamiyah, amal-amal usaha di bidang pendidikan merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dari kegiatan dan platform organisasi tersebut.
Di masa YFM (1986-1998), di kota Makassar telah berdiri sejumlah unit TK/TP al-Qur'an yang dikoordinir dan dibina oleh sebuah lembaga yang dinamakan Lembaga Pembinaan Taman Kanak-kanak Al-Qur'an (LPTKA). Secara umum unit-unit TK/TPA tersebut mengalami perkembangan yang pesat bahkan di bebearapa daerah binaan YWI mulai berdiri institusi yang sama yang memacu daerah lainnya ingin melakukan yang sama sehingga pada tahun 1995 didirikanlah sebuah lembaga pendidikan tinggi internal dengan nama Pendidikan Guru TK Al-Qur'an (PGTKA) untuk menyiapkan tenaga pendidik yang memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Program pendidikan al-Qur'an yang bersifat non-formal tersebut adalah cikal-bakal berdirinya lembaga-lembaga pendidikan formal pada masa-masa selanjutnya.
Dinamika perkembangan Wahdah Islamiyah dari waktu ke waktu sebagai organisasi dakwah Islam yang dikelola dengan sistem manajemen modern dan merambah segala sektor pelayanan umat termasuk pendidikan menjadi variabel pokok muncul dan eksisnya lembaga-lembaga pendidikan formal mulai dari tingkat pendidikan pra-sekolah hingga level perguruan tinggi.
Kebutuhan para kader, pengurus dan simpatisan terhadap lembaga pendidikan alternatif dalam rangka memproteksi dini putra-putri mereka dari nilai-nilai yang bertentangan dengan aqidah dan akhlak Islam yang ada di sekolah-sekolah umum ditunjang oleh adanya kesempatan dan kondisi obyektif yang memungkinkan, membuahkan berdirinya TK Islam Terpadu (TKIT) Wihdatul Ummah pada tahun 1998 yang merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang didirikan oleh Wahdah Islamiyah, disusul SDIT Wihdatul Ummah 2 (dua) tahun kemudian.
Kedua unit pendidikan ini menamakan diri sekolah Islam terpadu karena mengintegrasikan kurikulum nasional dengan kurikulum lokal WI sebagai lembaga Islam.
Semakin besarnya peluang sekaligus tantangan bagi Wahdah Islamiyah dalam menjalankan amanah dakwah seiring dengan bertambah luasnya area pembinaan dan meningkatnya ragam aktivitas, menuntut tersedianya sumber daya manusia terutama para da'i yang handal dan memiliki bekal berdakwah yang cukup. Untuk itu Wahdah Islamiyah mendirikan sebuah pesantren tinggi pada tahun 1998 yang kemudian lebih dikenal dengan nama STIBA, lembaga ini bertujuan untuk mencetak kader ulama dan du'at masa depan yang menjadi tumpuan harapan lembaga dalam mengawal perjalanan dakwah dan amal jama'i ke depan.
Di samping itu pada tahun yang sama mulai dibuka Program Tadrib Ad-Du'at untuk menjadi wahana penyiapan da'i untuk memenuhi kebutuhan mendesak daerah-daerah cabang dan binaan YWI terhadap tenaga da'i dan pembina. Masih di tahun yang sama YWI mendirikan pula Pesantren Tahfiz al-Qur'an dengan tujuan mencetak para huffazh yang diproyeksikan untuk menjadi imam masjid dan pengasuh/pengelola ma'had-ma'had yang sama di cabang-cabang Wahdah Islamiyah.
STIBA, Tadrib ad-Du'at dan Ma'had Tahdizh merupakan tiga lembaga WI yang sekalipun berbeda status formalitasnya, namun ketiganya menghadirkan untuk pertama kali dalam konteks WI suatu system dan pola baru yaitu pola pembinaan kepesantrenan dimana salah satu ciri utama pesantren adalah disiapkannya asrama di dalam kampus untuk para peserta belajar yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan pendidikan tambahan di luar waktu-waktu pembelajaran klasikal.
Pada waktu yang hampir bersamaan YWI Cabang Sidrap mencatat prestasi sejarah sebagai cabang yang pertama mendirikan pondok pesantren yaitu Ma'had al-Iman yang mengelola pendidikan setingkat SMP-SMA. Saat menjelang SDIT WU akan menelorkan luaran perdananya, berdirilah SMP IT pada tahun 2002 disusul berdirinya SMA IT 3 (tiga) tahun setelahnya.
Oleh karena STIBA (pesantren tinggi WI) adalah lembaga formal dan di sisi lain memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, diperlukan adanya lembaga khusus berbadan hukum untuk memayungi sekaligus membuat langkah-langkah strategis untuk pengembangan STIBA ke depan, maka pada tahun 2000 didirikanlah Yayasan Pesantren Wahdah Islamiyah yang kemudian sesuai tuntutan regulasi pendidikan nasional menjadi payung bagi semua lembaga pendidikan formal WI yang telah berdiri baik di Makassar maupun di daerah.
Penamaan YPWI menyiratkan suatu makna akan adanya lembaga pendidikan WI yang benar-benar berupa pesantren atau pondok pesantren (ponpes) sebagaimana lazimnya dipahami oleh umat dan masyarakat Indonesia. Hal ini sangat wajar bila kita kembali kepada latar belakang dan tujuan organisasi serta arah gerakan dakwah WI, apalagi potensi SDM (baik tenaga pengasuh/pembina maupun tenaga pendukung lainnya) sangatlah menunjang.
Diskursus pendirian Pesantren Wahdah Islamiyah di kota Makassar -sebagai pusat aktivitas WI- yang mengelola pendidikan di tingkat menengah atau biasa diistilahkan dengan paket pendidikan 6 tahun, sebenarnya mulai berkembang terutama di kalangan para asatidzah (alumni Madinah) yang menjadi dosen di STIBA dan sebagian mereka menjadi pengurus di WI pusat;
Tatkala muncul beberapa fenomena yang mengindikasikan bahwa proses pendidikan (yang islami) dan pembinaan integritas pribadi yang berlangsung di unit-unit pendidikan yang ada -terutama SMP ITWI dan SMA ITWI- tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, banyak kasus-kasus murid yang terkait dengan moralitas terjadi karena minimnya perhatian dan kesempatan sekolah dalam pembinaan mental dan spiritual siswa, bertambahnya porsi jam pelajaran sebagai konsekwensi integralisasi kurikulum semakin membuat pihak sekolah sulit memenuhi tanggung jawab pendidikan yang diembannya secara utuh dan proporsional baik dalam hal pembinaan kognitif siswa, afektif maupun psikomotoriknya terlebih unit-unit pendidikanWI semestinya berfungsi sebagai sebuah refleksi perwajahan WI sebagai institusi pelayanan dan perbaikan umat yang cukup komit di mata masyarakat luas.
Wacana ini makin menguat melalui forum-forum resmi seperti rapat senat dan pengelola STIBA, rapat-rapat pengurus WI maupun diskusi biasa para ustadz seiring dengan banyaknya saran dan dukungan dari pihak orang tua murid dan simpatisan WI.
Terjadinya sejumlah diskusi dan musyawarah yang berujung pada beralihnya STIBA ke Ma'had 'Aly pada bulan September 2005 dapat dipandang sebagai wujud kian mengkristalnya keinginan dan harapan kepada pemegang kebijakan di tingkat pusat WI untuk merealisasikan wacana tersebut, karena untuk eksistensi dan kelanjutan Ma'had 'Aly ke depan sangat memerlukan adanya institusi pesantren di tingkat menengah yang menjadi media rekrutmen bibit-bibit unggul yang diproyeksikan masuk program unggulan WI tersebut (Ma'had 'Aly) di samping tujuan-tujuan penting dan manfaat-manfaat positif lainnya.
Sebuah realita yang layak dicermati pada saat itu adalah belum adanya pondok pesantren yang dimaksud di pusat WI (Makassar) pada saat sejumlah cabang WI seperti Sidrap, Enrekang, dan Luwu telah mampu mengadakannya meskipun dengan berbagai keterbatasan yang ada.
Dewasa ini perlu dicermati dan diresponsi tingginya tingkat kecenderungan pihak orang tua muslim untuk memasukkan anak-anaknya di pondok pesantren, terutama untuk tingkat sekolah menengah (SLTP/SLTA), salah satu faktor penyebab utama adalah terjadinya fenomena penyimpangan moralitas di kalangan usia sekolah menengah ke atas yang telah banyak melahirkan kasus-kasus kejahatan dan berbagai masalah sosial lainnya.
Dengan memasukkan anaknya ke pondok pesantren –khususnya yang dipandang masih kapabel dalam misi penguatan aqidah dan akhlak di samping kapasitas pendidikan intelektualnya yang minimal memadai, para orang tua berharap anaknya tidak terjatuh di dalam suatu kenyataan pahit, tergelincir dalam penyimpangan tersebut. Realitas yang telah banyak dibuktikan oleh penelitian ini tentunya menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi lembaga-lembaga Islam khususnya yang mengelola atau mempunyai potensi untuk mengelola pondok pesantren.
Sebagai sebuah lembaga dakwah yang visioner, agenda dan program dakwah Wahdah Islamiyah tidak hanya terfokus pada kebutuhan-kebutuhan dakwah dan kemaslahatan hari ini, akan tetapi antara pencapaian sasaran-sasaran yang akan dicapai dalam jangka pendek dengan upaya mewujudkan harapan dan visi masa depan harus berjalan secara simetrik, sinkron dan proporsional.
Oleh karena itu, proyek pengokohan eksistensi dakwah ke depan terutama dari sisi kaderisasi personil pendukung ril perjuangan dakwah amat perlu mendapatkan porsi prioritas dari para pemegang kebijakan di lembaga ini. Pondok pesantren yang dikelola secara profesional dan diwarnai oleh nuansa tarbiyah dan ruh dakwah yang baik dan efektif dapat difungsikan sebagai sarana rekrutmen dini untuk kader-kader yang ril setidaknya untuk persiapan ke depan, insya Allah.
Sudah saatnya Wahdah Islamiyah melahirkan konsep pengelolaan pendidikan formal yang bisa mengintegrasikan antara misi umum pendidikan Islam yang notabene adalah bagian dari Pendidikan Nasional dan misi kaderisasi dakwah yang menjadi ujung tombak dari segala aktivitas dakwah WI; dan usaha ini akan lebih optimal apabila diterapkan melalui sistem pondok pesantren. Oleh karena itu konsep, rencana dan tekad untuk mendirikan pondok pesantren di setiap cabang perlu segera dimantapkan dan diimplemantasikan dalam bentuk action karena sudah sejalan dengan paradigma kaderisasi di atas.
Oleh karena itu didirikanlah sebuah institusi pondok pesantren (modern) di dalam kota Makassar sebagai pusat eksistensi dan berbagai aktivitas Wahdah Islamiyah, yang memayungi unit pendidikan SMP dan SMA IT WI yang telah ada sebelumnya dan dikelola oleh YPWI Makassar. Mudah-mudahan kehadiran pondok pesantren yang akan di grand-launching pada awal tahun ajaran 2009-2010 ini -sebagaimana yang diharapkan- bisa menjadi pilot-project bahkan menjadi uswah hasanah bagi pondok-pondok pesantren WI lainnya menjadi serta menjadi sebuah ikon penting dalam maksimalisasi upaya mewujudkan keinginan dan cita-cita mulia sebagaimana tersebut di atas. Semoga!
Dinamika perkembangan Wahdah Islamiyah dari waktu ke waktu sebagai organisasi dakwah Islam yang dikelola dengan sistem manajemen modern dan merambah segala sektor pelayanan umat termasuk pendidikan menjadi variabel pokok muncul dan eksisnya lembaga-lembaga pendidikan formal mulai dari tingkat pendidikan pra-sekolah hingga level perguruan tinggi.
Kebutuhan para kader, pengurus dan simpatisan terhadap lembaga pendidikan alternatif dalam rangka memproteksi dini putra-putri mereka dari nilai-nilai yang bertentangan dengan aqidah dan akhlak Islam yang ada di sekolah-sekolah umum ditunjang oleh adanya kesempatan dan kondisi obyektif yang memungkinkan, membuahkan berdirinya TK Islam Terpadu (TKIT) Wihdatul Ummah pada tahun 1998 yang merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang didirikan oleh Wahdah Islamiyah, disusul SDIT Wihdatul Ummah 2 (dua) tahun kemudian.
Kedua unit pendidikan ini menamakan diri sekolah Islam terpadu karena mengintegrasikan kurikulum nasional dengan kurikulum lokal WI sebagai lembaga Islam.
Semakin besarnya peluang sekaligus tantangan bagi Wahdah Islamiyah dalam menjalankan amanah dakwah seiring dengan bertambah luasnya area pembinaan dan meningkatnya ragam aktivitas, menuntut tersedianya sumber daya manusia terutama para da'i yang handal dan memiliki bekal berdakwah yang cukup. Untuk itu Wahdah Islamiyah mendirikan sebuah pesantren tinggi pada tahun 1998 yang kemudian lebih dikenal dengan nama STIBA, lembaga ini bertujuan untuk mencetak kader ulama dan du'at masa depan yang menjadi tumpuan harapan lembaga dalam mengawal perjalanan dakwah dan amal jama'i ke depan.
Di samping itu pada tahun yang sama mulai dibuka Program Tadrib Ad-Du'at untuk menjadi wahana penyiapan da'i untuk memenuhi kebutuhan mendesak daerah-daerah cabang dan binaan YWI terhadap tenaga da'i dan pembina. Masih di tahun yang sama YWI mendirikan pula Pesantren Tahfiz al-Qur'an dengan tujuan mencetak para huffazh yang diproyeksikan untuk menjadi imam masjid dan pengasuh/pengelola ma'had-ma'had yang sama di cabang-cabang Wahdah Islamiyah.
STIBA, Tadrib ad-Du'at dan Ma'had Tahdizh merupakan tiga lembaga WI yang sekalipun berbeda status formalitasnya, namun ketiganya menghadirkan untuk pertama kali dalam konteks WI suatu system dan pola baru yaitu pola pembinaan kepesantrenan dimana salah satu ciri utama pesantren adalah disiapkannya asrama di dalam kampus untuk para peserta belajar yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan pendidikan tambahan di luar waktu-waktu pembelajaran klasikal.
Pada waktu yang hampir bersamaan YWI Cabang Sidrap mencatat prestasi sejarah sebagai cabang yang pertama mendirikan pondok pesantren yaitu Ma'had al-Iman yang mengelola pendidikan setingkat SMP-SMA. Saat menjelang SDIT WU akan menelorkan luaran perdananya, berdirilah SMP IT pada tahun 2002 disusul berdirinya SMA IT 3 (tiga) tahun setelahnya.
Oleh karena STIBA (pesantren tinggi WI) adalah lembaga formal dan di sisi lain memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, diperlukan adanya lembaga khusus berbadan hukum untuk memayungi sekaligus membuat langkah-langkah strategis untuk pengembangan STIBA ke depan, maka pada tahun 2000 didirikanlah Yayasan Pesantren Wahdah Islamiyah yang kemudian sesuai tuntutan regulasi pendidikan nasional menjadi payung bagi semua lembaga pendidikan formal WI yang telah berdiri baik di Makassar maupun di daerah.
Penamaan YPWI menyiratkan suatu makna akan adanya lembaga pendidikan WI yang benar-benar berupa pesantren atau pondok pesantren (ponpes) sebagaimana lazimnya dipahami oleh umat dan masyarakat Indonesia. Hal ini sangat wajar bila kita kembali kepada latar belakang dan tujuan organisasi serta arah gerakan dakwah WI, apalagi potensi SDM (baik tenaga pengasuh/pembina maupun tenaga pendukung lainnya) sangatlah menunjang.
Diskursus pendirian Pesantren Wahdah Islamiyah di kota Makassar -sebagai pusat aktivitas WI- yang mengelola pendidikan di tingkat menengah atau biasa diistilahkan dengan paket pendidikan 6 tahun, sebenarnya mulai berkembang terutama di kalangan para asatidzah (alumni Madinah) yang menjadi dosen di STIBA dan sebagian mereka menjadi pengurus di WI pusat;
Tatkala muncul beberapa fenomena yang mengindikasikan bahwa proses pendidikan (yang islami) dan pembinaan integritas pribadi yang berlangsung di unit-unit pendidikan yang ada -terutama SMP ITWI dan SMA ITWI- tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, banyak kasus-kasus murid yang terkait dengan moralitas terjadi karena minimnya perhatian dan kesempatan sekolah dalam pembinaan mental dan spiritual siswa, bertambahnya porsi jam pelajaran sebagai konsekwensi integralisasi kurikulum semakin membuat pihak sekolah sulit memenuhi tanggung jawab pendidikan yang diembannya secara utuh dan proporsional baik dalam hal pembinaan kognitif siswa, afektif maupun psikomotoriknya terlebih unit-unit pendidikanWI semestinya berfungsi sebagai sebuah refleksi perwajahan WI sebagai institusi pelayanan dan perbaikan umat yang cukup komit di mata masyarakat luas.
Wacana ini makin menguat melalui forum-forum resmi seperti rapat senat dan pengelola STIBA, rapat-rapat pengurus WI maupun diskusi biasa para ustadz seiring dengan banyaknya saran dan dukungan dari pihak orang tua murid dan simpatisan WI.
Terjadinya sejumlah diskusi dan musyawarah yang berujung pada beralihnya STIBA ke Ma'had 'Aly pada bulan September 2005 dapat dipandang sebagai wujud kian mengkristalnya keinginan dan harapan kepada pemegang kebijakan di tingkat pusat WI untuk merealisasikan wacana tersebut, karena untuk eksistensi dan kelanjutan Ma'had 'Aly ke depan sangat memerlukan adanya institusi pesantren di tingkat menengah yang menjadi media rekrutmen bibit-bibit unggul yang diproyeksikan masuk program unggulan WI tersebut (Ma'had 'Aly) di samping tujuan-tujuan penting dan manfaat-manfaat positif lainnya.
Sebuah realita yang layak dicermati pada saat itu adalah belum adanya pondok pesantren yang dimaksud di pusat WI (Makassar) pada saat sejumlah cabang WI seperti Sidrap, Enrekang, dan Luwu telah mampu mengadakannya meskipun dengan berbagai keterbatasan yang ada.
Dewasa ini perlu dicermati dan diresponsi tingginya tingkat kecenderungan pihak orang tua muslim untuk memasukkan anak-anaknya di pondok pesantren, terutama untuk tingkat sekolah menengah (SLTP/SLTA), salah satu faktor penyebab utama adalah terjadinya fenomena penyimpangan moralitas di kalangan usia sekolah menengah ke atas yang telah banyak melahirkan kasus-kasus kejahatan dan berbagai masalah sosial lainnya.
Dengan memasukkan anaknya ke pondok pesantren –khususnya yang dipandang masih kapabel dalam misi penguatan aqidah dan akhlak di samping kapasitas pendidikan intelektualnya yang minimal memadai, para orang tua berharap anaknya tidak terjatuh di dalam suatu kenyataan pahit, tergelincir dalam penyimpangan tersebut. Realitas yang telah banyak dibuktikan oleh penelitian ini tentunya menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi lembaga-lembaga Islam khususnya yang mengelola atau mempunyai potensi untuk mengelola pondok pesantren.
Sebagai sebuah lembaga dakwah yang visioner, agenda dan program dakwah Wahdah Islamiyah tidak hanya terfokus pada kebutuhan-kebutuhan dakwah dan kemaslahatan hari ini, akan tetapi antara pencapaian sasaran-sasaran yang akan dicapai dalam jangka pendek dengan upaya mewujudkan harapan dan visi masa depan harus berjalan secara simetrik, sinkron dan proporsional.
Oleh karena itu, proyek pengokohan eksistensi dakwah ke depan terutama dari sisi kaderisasi personil pendukung ril perjuangan dakwah amat perlu mendapatkan porsi prioritas dari para pemegang kebijakan di lembaga ini. Pondok pesantren yang dikelola secara profesional dan diwarnai oleh nuansa tarbiyah dan ruh dakwah yang baik dan efektif dapat difungsikan sebagai sarana rekrutmen dini untuk kader-kader yang ril setidaknya untuk persiapan ke depan, insya Allah.
Sudah saatnya Wahdah Islamiyah melahirkan konsep pengelolaan pendidikan formal yang bisa mengintegrasikan antara misi umum pendidikan Islam yang notabene adalah bagian dari Pendidikan Nasional dan misi kaderisasi dakwah yang menjadi ujung tombak dari segala aktivitas dakwah WI; dan usaha ini akan lebih optimal apabila diterapkan melalui sistem pondok pesantren. Oleh karena itu konsep, rencana dan tekad untuk mendirikan pondok pesantren di setiap cabang perlu segera dimantapkan dan diimplemantasikan dalam bentuk action karena sudah sejalan dengan paradigma kaderisasi di atas.
Oleh karena itu didirikanlah sebuah institusi pondok pesantren (modern) di dalam kota Makassar sebagai pusat eksistensi dan berbagai aktivitas Wahdah Islamiyah, yang memayungi unit pendidikan SMP dan SMA IT WI yang telah ada sebelumnya dan dikelola oleh YPWI Makassar. Mudah-mudahan kehadiran pondok pesantren yang akan di grand-launching pada awal tahun ajaran 2009-2010 ini -sebagaimana yang diharapkan- bisa menjadi pilot-project bahkan menjadi uswah hasanah bagi pondok-pondok pesantren WI lainnya menjadi serta menjadi sebuah ikon penting dalam maksimalisasi upaya mewujudkan keinginan dan cita-cita mulia sebagaimana tersebut di atas. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar